Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TABANAN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2023/PN Tab Kadek Dwi Arnata Kepolisian Negara Republik Indonesia daerah Bali Resor Tabanan Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 17 Okt. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2023/PN Tab
Tanggal Surat Selasa, 17 Okt. 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Kadek Dwi Arnata
Termohon
NoNama
1Kepolisian Negara Republik Indonesia daerah Bali Resor Tabanan
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Adapun alasan - alasan hukum PEMOHON dalam mengajukan PERMOHONAN PRAPERADILAN ini adalah sebagai berikut;


A.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

Adapun dasar hukum permohonan Praperadilan adalah sebagai berikut:

1.    Bahwa Pasal 8 Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia berbunyi sebagai berikut :
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”

2.    Bahwa Pasal 1 angka 10 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan pengertian Praperadilan adalah sebagai berikut:
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a.    sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.    sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.    permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”

3.    Bahwa Pasal 77 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi sebagai berikut:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.    sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.    ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

4.    Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, (Putusan MK hal 105-106) dengan pertimbangan hukumnya berbunyi sebagai berikut:
“Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum”;

5.    Bahwa Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015, berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”;

6.    Bahwa secara Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015, telah memberikan penegasan dan interprestasi bahwa “penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan adalah objek praperadilan”

7.    Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017 (Putusan MK hal 147) dengan pertimbangan hukumnya berbunyi sebagai berikut:
“Mahkamah berpendapat, tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum akan tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor. Oleh Karena itu penting bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor. Alasan Mahkamah tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasehat hukum yang akan mendapinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya”;
“Berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon bahwa SPDP tersebut bersifat wajib adalah beralasan menurut hukum. Sifat wajib tersebut bukan hanya kaitannya dengan jaksa penuntut umum akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan korban/pelapor. Adapun tentang batasan waktunya, Mahkamah memperimbangkan bahwa waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi penyidik mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut.”

8.    Bahwa Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017 berbunyi sebagai berikut :
“Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981nomor 76, tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengingat sepanjang frasa”penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) harisetelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.”

9.    Bahwa diajukannya permohonan ini didasarkan pada peristiwa :
9.1    Bahwa Penetapan PEMOHON sebagai TERSANGKA atas dugaan Tindak Pidana Pelecehan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf (a) Kitab Undang – Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2022, oleh TERMOHON tanpa melalui mekanisme Tahapan Pemeriksaan sesuai Aturan yang berlaku dan tidak dikirimkan tembusan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) jika tidak diminta.
9.2    Bahwa PEMOHON mengetahui penetapan tersangka atas diri PEMOHON berdasarkan Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor : S.Tap/818.a/X/2023/Polres Tbn.  Tertanggal 9 Oktober 2023.
9.3    Penyidikan atas diri PEMOHON didasarkan pada :

a.    Laporan Polisi Nomor : LP-B/92/IX/2023/Bali/POLRES TABANAN/POLDA BALI, Tanggal 30 September 2023, Pelapor : Ni Cening Kariasih;    
b.    Surat Perintah Penyidikan
-    Nomor : Sprin.Sidik/818/X/RES.1.24./2023/Sat Reskrim, tanggal 7 Oktober 2023
c.    Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Bali Resor Tabanan, Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor : B/48/X/RES.1.24/2023/Sat Reskrim, tanggal 11 Oktober 2023 tentang SPDP.

10.    Bahwa Penetapan Tersangka sebagaimana tercantum pada Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: B/48/X/RES.1.24/2023/Sat Reskrim, tanggal 11 Oktober 2023, yang dilakukan TERMOHON berada dalam yurisdiksi Pengadilan Negeri Tabanan.

11.    Bahwa M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul "Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali)", halaman 12 menyatakan sebagai berikut:
"Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh Praperadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang meliputi daerah hukum tempat di mana penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan itu dilakukan. Atau diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat di mana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau penuntutan berkedudukan.
Atau jika merujuk kepada hukum acara yang bersifat kontentiosa adalah di tempat TERMOHON berdomisili/bertempat tinggal.

12.    Bahwa  Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka tidak didukung dengan bukti permulaan yang cukup yaitu 2 alat bukti yang sah dan unsur-unsur tindak pidana tidak terpenuhi.
Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 21/PUU-XII/2014 MK mengabulkan Sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan obyek pra peradilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frase “bukti permulaan”, “Bukti Permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang di maknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan;

Mahkamah Konstitusi menganggap syarat minimum dua alat bukti dan Pemeriksaan Calon Tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu;

13.    Bahwa terkait dengan tindakan TERMOHON sebagaimana dimaksud dalam poin 8 dan 11 diatas, dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat hukum sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku;

Dengan demikian, berdasarkan uraian diatas, sangat beralasan atas hukum Pengadilan Negeri Tabanan untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo.


B.    URAIAN FAKTA HUKUM SEBAGAI ALASAN PRA PERADILAN

Adapun fakta hukum berikut ini:
1.    Bahwa PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka atas dugaan Tindak Pidana Pelecehan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf (a) Undang – Undang Republik Indonesia Republik Indonesia No. 12 Tahun 2023 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pada Polres Tabanan, sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor : S.Tap/818.a/X/2023/Polres Tbn.  Tertanggal 9 Oktober 2023;

2.    Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dan pertimbangan TERMOHON dalam menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka adalah terkait Pelecehan Seksual. (Vide Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka) Nomor : S.Tap/818.a/X/2023/Polres Tbn.  Tertanggal 9 Oktober 2023;

3.    Bahwa awalnya PEMOHON dilaporkan di Polres Tabanan oleh Ni Cening Kariasih sebagaimana Pemohon ketahui dengan diterimanya surat Undangan Klarifikasi dari Polres Tabanan dengan Nomer ; B/588/IX/RES.1.24./2023/Polres Tbn, tertanggal 25 September 2023, untuk hadir pada tanggal 27 September 2023, jam 10.00 wita di Ruang Konseling PPA Lantai 1 Sat Reskrim Polres Tabanan, surat panggilan ini sifatnya tidak “Pro Justitia” hanya klarifikasi biasa.

4.     Bahwa yang menjadi dasar dilakukanya Penetapan Tersangka oleh TERMOHON kepada diri PEMOHON adalah Laporan Polisi Nomor : LP-B/92/IX/2023/Bali/POLRES TABANAN/POLDA BALI, Tanggal 30 September 2023, Pelapor : Ni Cening Kariasih. Sebagaimana diketahui PEMOHON tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas PEMOHON sebagai calon tersangka, jika merujuk pada Surat Laporan Polisi Nomor : LP-B/92/IX/2023/Bali/POLRES a quo, PEMOHON untuk pertama kali diperiksa oleh TERMOHON merujuk surat a quo yakni berdasarkan surat panggilan Nomor; S.PGL./818/X/RES.1.24./2023/SATRESKRIM, Tanggal 7 Oktober 2023, yang bersamaan pada saat itu juga dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprin.Sidik/818/X/RES.1.24./2023/Sat Reskrim, tanggal 7 Oktober 2023. PEMOHON tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka oleh TERMOHON, sehingga tidak dengan seimbang PEMOHON dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada PEMOHON. PEMOHON hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada tanggal 25 September 2023 dalam bentuk klarifikasi biasa yang sifatnya tidak “Pro Justitia”;
    
5.    Bahwa baru diketahuinya proses dimulainya penyidikan atas diri PEMOHON berdasarkan pada diterbitkanya Surat Panggilan Nomor; S.PGL./818/X/RES.1.24./2023/SATRESKRIM Tanggal 7 Oktober 2023 untuk didengar keterangannya sebagai saksi tanggal 9 Oktober 2023, dan inipun sudah dalam proses pemeriksaan Penyidikan namun PEMOHON belum menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Dan sampai PEMOHON dipanggil sebagai Tersangka, belum juga mendapat tembusan surat  SPDP a quo,  namun setelah diminta kepada Penyidik, baru diberikan SPDP Nomor : B/48/X/RES.1.24/2023/Sat Reskrim, tanggal 11 Oktober 2023 tentang SPDP melalui screenshot chat dikirim via whatsaap oleh Penyidik dan fisik surat baru diberikan langsung pada tanggal 12 Oktober 2023, yang sepatutnya SPDP dibuat bersamaan ketika PEMOHON pertama kali diperiksa pada ranah Penyidikan saat dikeluarkannya Spring-Sidik a quo, tanggal 7 Oktober 2023 dengan demikian Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprin.Sidik/818/X/RES.1.24./2023/Sat Reskrim, tanggal 7 Oktober 2023 yang tidak ikuti dengan surat dimulainya Tindakan penyidikan atau SPDP adalah cacad hukum;

6.    Bahwa diketahui dalam serangkaian proses surat menyurat dan pemeriksaan atas diri PEMOHON pada Polres Tabanan yang dilakukan oleh Penyidik, tidak dilakukan sesuai prosedur dan aturan yang berlaku seperti diberitahukannya Laporan Polisi dari Dumas ke Laporan Polisi oleh Penyidik secara lisan ke PEMOHON pada saat pemeriksaan tanggal 9 Oktober 2023 padahal setelah diteliti ternyata Laporan Polisi a quo sudah terbit sejak tanggal 30 September 2023 dengan tanpa adanya pemberitahuan kepada PEMOHON sehingga sangat merugikan PEMOHON sampai akhirnya dapat menaikkan status PEMOHON menjadi Tersangka;

7.    Bahwa diketahui sebelum memasuki mekanisme Penyidikan seharusnya diawali dengan mekanisme Penyelidikan yang diatur pada  No. 8 Tahun 1981 Undang – Undang Tentang Hukum Acara Pidana serta Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Peyidikan Tindak Pidana, akan tetapi TERMOHON hampir tidak melakukan mekanisme tindakan Penyelidikan dan langsung ke tahapan Penyidikan. Karena pada hakekatnya jika diteliti dengan melalui alat bukti yang ada, tindakan yang dilakukan PEMOHON sama sekali tidak ada peristiwa pidananya, dengan alasan durasi selama waktu antara PEMOHON dengan Pelapor didalam kamar sebagaimana dituduhkan dugaan pelecehan seksual itu sama sekali tidak ada Tindakan tindak pidana atau kesalahan PEMOHON yang masuk pada pada unsur-unsur sebagaimana dimaksud poin 8 dan TERMOHON melanjutkan proses pemeriksaan ke tingkat penyidikan hingga kapasitas PEMOHON saat ini ditetapkan sebagai Tersangka hanya berdasarkan proses coba coba karena diduga kasus ini sudah viral di masyarakat;

8.    Bahwa TERMOHON menyangkakan Pasal 6 huruf (a) Undang – Undang Republik Indonesia Republik Indonesia No. 12 Tahun 2023 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tanpa didukung “bukti permulaan”, “bukti permulaan cukup” dan bukti yang cukup” karena batas minimal dua ini berdampak pada kualitas alat bukti bukan kuantitas jumlah alat bukti untuk terpenuhinya kebenaran materiil dalam hukum pidana maka dengan demikian untuk memenuhi batas minimal sebagai makna dari cukup tersebut dilakukan agar alat bukti memiliki kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan, peristiwa maupun pernyataan dan harus memastikan alat bukti tersebut memenuhi syarat formil dan materil. Kedudukan alat bukti TERMOHON sama sekali tidak memiliki syarat cukup atau batas minimal dalam pembuktian pidana yang menentukan kekuatan alat bukti, dengan demikian alat bukti yang dipakai TERMOHON tidak bisa disebut sebagai alat bukti yang sah;

C.    TENTANG HUKUM

Yang Mulia Hakim,

Bahwa adapun prosedur atau tata cara yang tidak dilakukan oleh TERMOHON dalam melakukan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON sehingga Pemohon dapat menyampaikan sebagai berikut:

PROSES PENYIDIKAN DILAKUKAN TANPA DIAWALI DENGAN ADANYA
 MEKANISME PENYELIDIKAN YANG CERMAT SUPAYA DITEMUKANNYA PERISTIWA DUGAAN TINDAK PIDANA

1.    Bahwa sebagaimana diketahui penetapan Tersangka atas diri TERMOHON diawali dengan adanya Laporan Polisi Nomor : LP-B/92/IX/2023/Bali/POLRES TABANAN/POLDA BALI, Tanggal 30 September 2023, Pelapor : Ni Cening Kariasih, atas hal tersebut TERMOHON menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprin.Sidik/818/X/RES.1.24./2023/Sat Reskrim, tanggal 7 Oktober 2023 yang disusul dengan diterbitkanya Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Bali Resor Tabanan, Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor : B/48/X/RES.1.24/2023/Sat Reskrim, tanggal 11 Oktober 2023 tentang SPDP.

2.    Bahwa sejak adanya Laporan Polisi Nomor : LP-B/92/IX/2023/Bali/POLRES TABANAN/POLDA BALI, Tanggal 30 September 2023, Pelapor : Ni Cening Kariasih, seharusnya ada serangkaian tindakan Penyelidikan yang lebih Panjang dilakukan TERMOHON guna mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Apabila mengacu kepada surat panggilan a quo, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada PEMOHON. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.

3.    Bahwa faktanya dalam rentan beberapa hari sejak diterimanya Laporan Nomor : LP-B/92/IX/2023/Bali/POLRES TABANAN/POLDA BALI, Tanggal 30 September 2023, Pelapor : Ni Cening Kariasih, Dengan hanya waktu yang sangat singkat mekanisme Penyelidikan. TERMOHON Langsung menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomer : Sprin.Sidik/818/X/RES.1.24./2023/Sat Reskrim, tanggal 7 Oktober 2023 yang kemudian setelah diminta baru disusul dengan diterbitkanya Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Bali Resor Tabanan, Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor : B/48/X/RES.1.24/2023/Sat Reskrim, tanggal 11 Oktober 2023 tentang SPDP;

4.    Bahwa PEMOHON sebagai Terlapor / Tersangka tidak pernah mendapat tembusan surat SPDP dari TERMOHON sebelumnya jika tidak diminta, sehingga merupakan pelanggaran sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang berbunyi:
 “SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepda penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan”,
dan, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 (Putusan MK) Hal.147 yang menyatakan:
“…………Berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon bahwa SPDP tersebut bersifat wajib adalah beralasan menurut hukum. Sifat wajib tersebut bukan hanya kaitannya dengan jaksa penuntut umum akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan korban/pelapor. Adapun tentang batasan waktunya, Mahkamah memperimbangkan bahwa waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi penyidik mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut.”

5.    Bahwa dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP, berbunyi sebagai berikut:

“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini”

6.    Bahwa dalam Pasal 1 angka 7 Perkapolri No.6/2019, berbunyi sebagai berikut :
“Penyelidikan adalah serangkaian Tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai Tindak Pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.

7.    Bahwa menurut pendapat Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan” (Hal.101), mengatakan :
“penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan.

Jadi sebelum dilakukan Tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” minimal dua alat bukti agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.

8.    Bahwa dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, berbunyi sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”

9.    Bahwa selaras dengan pendapat Moch. Faisal Salam, S.H.,M.H dalam bukunya “HUKUM ACARA PIDANA DALAM TEORI DAN PRAKTIK (vide halaman 31)” berbunyi sebagai berikut :
“Menurut KUHAP, Penyelidikan diintrodusir dengan motivasi perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan ketat terhadap penggunaan, dimana upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan yang terpaksa dilakukan, Penyelidikan mendahului tindakan – tindakan lain yaitu untuk menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga tindak pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak”

10.    Bahwa berdasarkan ketentuan yang telah disebutkan diatas, oleh karena itu makna dari penyidikan harus terlebih dahulu melakukan Penyelidikan guna menentukan suatu peristiwa dapat disebut sebagai suatu tindak pidana atau tidak, dan kemudian baru Termohon mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi, dan bukti-bukti tersebut kemudian baru ditetapkan Tersangka-nya. Akan tetapi faktanya PEMOHON telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh TERMOHON, tanpa ditemukan proses Penyelidikan, yang mana PEMOHON tidak pernah menerima surat  surat perintah penyelidikan dalam bentuk “Pro Justitia” pada tingkat Penyelidikan.

11.    Bahwa merujuk penetapan Tersangka oleh TERMOHON dihubungkan dengan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Putusan Nomor 21/ PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015 terkait norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, maka terhadap penetapan PEMOHON sebagai Tersangka ini muncul pertanyaan: Kapan perbuatan TERMOHON dianggap sebagai suatu tindak pidana, dan kapan Termohon memperoleh minimal dua alat bukti yang sah yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP yang dijadikan dasar oleh TERMOHON untuk menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka (menimbang, undangan Klarifikasi dengan Laporan Polisi dan Penyidikan sangat singkat).

12.    Bahwa untuk menjawab pertanyaan di atas, maka terhadap tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka seharusnya diuji dengan norma Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5, Pasal 1 angka 14 KUHAP junto Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP untuk menilai apakah tindakan TERMOHON (in casu : Penetapan Tersangka) terhadap PEMOHON, dalam perkara a quo ini sah atau tidak sah;

13.    Bahwa norma Pasal 1 angka 14 KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah diputus dalam Putusan Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015 dengan amar yang berbunyi: Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Frasa“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

14.    Bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015, maka norma Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai : “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;

15.    Bahwa merujuk norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, selanjutnya muncul pertanyaan:
•    kapan minimal dua alat bukti itu didapat oleh TERMOHON ?
•    apakah minimal dua alat bukti itu didapat pada tahap Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP ? Sedangkan hampir tidak ada tahapan Penyelidikan.

16.    Bahwa menjawab pertanyaan diatas, jelas dan terang bahwa norma Pasal 1 angka 5 KUHAP menyebutkan penyelidikan diartikan sebagai “serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukannya penyidikan”;

17.    Bahwa sedangkan penyidikan ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, yaitu “serangkaian tindakan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”;

18.    Bahwa tindakan Penyidik (ic. TERMOHON) untuk menentukan PEMOHON sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh oleh TERMOHON haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas Kepastian Hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi PEMOHON yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti oleh TERMOHON untuk mencapai proses penetapan PEMOHON sebagai Tersangka tersebut tidak dipenuhi, maka menurut hukum proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan;

19.    BAHWA MERUJUK URAIAN DIATAS, PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PEMOHON TIDAK DILAKUKAN SESUAI DENGAN PROSEDUR BERDASARKAN KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM ACARA PIDANA, PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2019 TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA, DAN PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN YANG BERLAKU.

PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA TIDAK DIDUKUNG DENGAN BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP YAITU 2 ALAT BUKTI YANG SAH DAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA TIDAK TERPENUHI

20.    Bahwa TERMOHON mensangkakan Pasal 6 huruf (a) Undang – Undang Republik Indonesia Republik Indonesia No. 12 Tahun 2023 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah tidak tepat karena sebagaimana bunyi pasal tersebut;
Dipidana karena pelecehan seksual fisik:
a.    Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

Pengertian pasal tersebut pada dasarnya adalah pelecehan berbasis gender yang mengandung unsur kekerasan dan pemaksaan, yang pada dasarnya PEMOHON sama sekali tidak pernah melakukan kekerasan maupun pemaksaan terhadap Pelapor(Ni Cening Kariasih) dan TERMOHONpun tidak dapat membuktikan adanya kekerasan dan pemaksaan dalam kasus ini sehingga penerapan pasal a quo menjadi tidak tepat, hal tersebut dapat dibuktikan dengan tidak adanya TERMOHON menghubungkan pasal-pasal yang mengatur Pelecehan dan Kekerasan Seksual yang diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

21.    Bahwa unsur delik Pasal 6 huruf (a) Undang – Undang Republik Indonesia Republik Indonesia No. 12 Tahun 2023 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sangat kabur dan sifatnya menduga-duga karena dalam pasal ini hampir tidak ditemukan adanya unsur tindak pidana secara tegas, tidak ditemukan adanya unsur delik yang tepat pada pasal ini, sebagaimana halnya berbeda dengan unsur-unsur delik yang ada pada pasal-pasal yang mengatur pelecehan di KUHP mulai dari pasal 281 sampai dengan pasal 296 yang mana unsur deliknya sangat jelas yaitu adanya ketidak inginan atau “unwelcome attention” maka jika pasal ini dipaksakan untuk diterapkan akan sangat bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”;

22.    Bahwa segala bentuk Tindakan hukum terhadap Tersangka yang berakibat terampasnya hak Tersangka harus berdasarkan Undang Undang, dan Undang Undang harus memberikan syarat yang harus dipenuhi dan menjadi dasar hukum dalam melakukan Tindakan hukum terhadap Tersangka tersebut agar wewenang yang diberikan oleh Undang Undang kepada apparat penegak hukum (In Casu Penyidik Polres Tabanan) tidak dipergunakan sewenang wenang.

23.    Bahwa untuk menentukan / menetapkan seseorang menjadi Tersangka dilakukan Tindakan-tindakan meminta keterangan dari pihak-pihak terkait dan pengumpulan bukti-bukti sehingga adanya dugaan peristiwa pidana tersebut menjadi jelas dan terang dan oleh karenanya dapat ditentukan Tersangkanya. Rangkaian tersebut merupakan cara atau prosedur hukum yang wajib ditempuh untuk mencapai proses penentuan Tersangka. Adanya prosedur tersebut dimaksudkan agar Tindakan Penyidik tidak sewenang-wenang mengingat seseorang mempunyai hak-hak asasi yang harus dilindungi.

24.    Bahwa namun demikian ternyata TERMOHON dengan sengaja telah melanggar prosedur Penyidikan dengan menentukan / Penetapan PEMOHON sebagai Tersangka berdasarkan bukti permulaan yang tidak sah dan cacat hukum, sebagaimana seharusnya diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP dan Pasal 1 angka 14 KUHAP, oleh karena sama sekali tidak ada perbuatan dan keadaan yang ditimbulkan PEMOHON berdasarkan bukti permulaan yang cukup yang patut diduga sebagai pelaku Tindak Pidana berkaitan dengan adanya Tindakan Tindak Pidana Pelecehan Seksual yang terjadi selama Pemohon dan Pelapor (Ni Cening Kariasih) berada bersama-sama selama durasi waktu didalam kamar kos tempat tinggal Pelapor (Ni Cening Kariasih) yang beralamat di Kos Mesari yang terletak di Br. Panti, Desa Pandak Gede, Kec. Kediri, Kab. Tabanan, sebagaimana dimaksud  Pasal 6 huruf (a) Undang – Undang Republik Indonesia Republik Indonesia No. 12 Tahun 2023 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;

25.    Bahwa dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan penetapan sesorang sebagai Tersangka, maka setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dengan lainnya termasuk pula dengan calon Tersangka atau PEMOHON. Mengenai hal ini KUHAP tidak mewajibkan Penyidik untuk memperlihatkan bukti-bukti yang ada padanya kepada Tersangka, akan tetapi berdasarkan Doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah terjadinya unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar;

26.    Bahwa PEMOHON telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh TERMOHON dalam perkara dugaan terjadinya Tindak Pidana Pelecehan Seksual di Kos Mesari yang terletak di Br. Panti, Desa Pandak Gede, Kec. Kediri, Kab. Tabanan, sebagaimana diatur dan diancam oleh pasal 6 huruf (a) Undang – Undang Republik Indonesia Republik Indonesia No. 12 Tahun 2023 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual padahal PEMOHON sama sekali tidak pernah “melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya” sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf (a) diatas;

27.    Bahwa PEMOHON sama sekali tidak pernah melakukan Tindak Pidana yang diatur dan diancam dalam pasal 6 huruf (a) Undang – Undang Republik Indonesia Republik Indonesia No. 12 Tahun 2023 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, terbukti dari fakta-fakta hukum sebagai berikut:
a.    Bahwa Pelapor (Ni Cening Kariasih) adalah sebagai follower diakun Instagram PEMOHON yang ingin bertemu dan meminta petunjuk bahwa dirinya merasa depresi karena ada permasalahan dan juga Pelapor ingin ikut melakukan kegiatan persembahyangan karena sering teriak-teriak di salah satu Pura dan meminta solusi atas permasalahan yg dialaminya kepada PEMOHON selaku penekun spiritual dan juga menerima keluhan Masyarakat.
b.    Bahwa pada akhirnya disepati untuk melakukan pertemuan pada tanggal 21 September 2023 pukul 21.32 wita, dengan saling bertukar nomer WA yang selanjutnya Pelapor (Ni Cening Kariasih) mengirimkan lokasi tempat tinggalnya melalui chat yang diberikan kepada PEMOHON dan berlanjut didatangi oleh PEMOHON dengan membawa mobil ke Alamat tempat tinggal Pelapor (Ni Cening Kariasih)
c.     Awal pertemuan sekitar pukul 21.50 wita Pelapor ikut naik di mobil PEMOHON dan disepakati untuk jalan jalan seputar daerah Kediri Tabanan dan selama perjalanan Pelapor bercerita (curhat) bahwa Pelapor merasa tidak nyaman dengan pacarnya dan bertanya kepada PEMOHON apakah sudah memiliki pacar dan PEMOHON menyatakan sudah memiliki pasangan, selanjutnya Pelapor hanya diam saja namun selama diperjalanan Pelapor mengaku tidak enak badan (pusing) dan PEMOHON menyarankan untuk kembali pulang ke kos nya dan selama perjalanan Pelapor ijin untuk istirahat tidur di mobil, dan sesampainya di depan rumah kos, Pelapor mengaku lemas dan atas ijin Pelapor PEMOHON membantu Pelapor untuk mengantarkan kekamar, sesampai di kamar Pelapor memberikan kunci kos kepada PEMOHON untuk membukakan pintu kamar kos dan Pelapor langsung berbaring serta minta pintu untuk ditutup karena ada orang diluar, setelah pintu ditutup PEMOHON minta ijin untuk pulang tapi dilarang, Pelapor mengaku sakit dan PEMOHON menyarankan untuk diberikan minyak lalu Pelapor memberikan minyak telon kepada PEMOHON dan minta tolong untuk dioleskan di bagian perut dan ulu hati, namun seiring waktu mengolesi minyak pada Pelapor, Pelapor meraba celana tepat dikemaluan PEMOHON untuk dibukanya dan setelah itu sontak PEMOHON terkejut dan minta ijin pulang dengan alasan besok harus ke kampus dan dibukakan pintu oleh Pelapor.
d.    Bahwa selama perjalanan PEMOHON menuju kerumah dan sesampainya dirumah PEMOHON membuka chat WA, Pelapor menulis “kak hati-hati ya” dan chat lainnya dari Pelapor, namun PEMOHON memilih untuk tidak menjawab chat-chat Pelapor. Dan setelah itu PEMOHON melihat story ID akun dari “ari ulangun” bahwa telah tejadi pelecehan atau pemerkosaan oknum Jro DA. Dan setelah itulah keesokan harinya PEMOHON baru tahu telah terjadi laporan pemerkosaan dari pihak Pelapor (Ni Cening Kariasih).

28.    Bahwa PEMOHON membantah semua tuduhan-tuduhan yang dilaporkan pada dirinya dan semua itu adalah fitnah dan pencemaran nama baik, bahwa fakta hukumnya tidak pernah terjadi pemerkosaan dan pelecehan seksual sebagaimana yang disangkakan, bahkan PEMOHON dalam posisi membantu Pelapor Ketika sedang lemah dan sama sekali tidak ada Tindakan-tindakan PEMOHON yang memenuhi unsur-unsur penting dari pelecehan seksual antara lain adanya ketidak inginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perbuatan yang bersifat seksual. Hal tersebut terbukti dengan terang benderang selama durasi PEMOHON dan Pelapor berada didalam kamar, Pelapor sama sekali tidak menunjukkan sikap keberatan, penolakan dan berontak bahkan dari awal PEMOHON ingin pulang tidak pernah diijinkan pergi, hal tersebut terbukti ketika Pelapor meninggalkan Pelapor untuk pulang Pelapor, menulis pesan supaya hati-hati dijalan. PEMOHON. menduga Pelapor melakukan pelaporan karena hasutan pihak lain. Tidak satupun ada alat bukti yang mengandung kebenaran materiil sebagaimana pembuktian dalam hukum pidana yang dimiliki oleh TERMOHON agar terpenuhinya bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka, TERMOHON hanya menggunakan alat bukti yang tidak ada hubungannya dengan unsur pidana yang disangkakan atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh PEMOHON;

29.    Bahwa PEMOHON disangkakan Pasal 6 huruf (a) Undang – Undang Republik Indonesia Republik Indonesia No. 12 Tahun 2023 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual TIDAK didukung dengan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana alat bukti yang sah yang dimaksud adalah sesuai fakta materiil karena dalam membuktikan suatu perkara pidana harus mencari dan menemukan kebenaran materiil (kebenaran yang sesungguhnya), yaitu bahwa tindak pidana sebagaimana diuraikan terhadap PEMOHON adalah benar-benar terjadi, dan benar terdapat kesalahan (baik kesengajaan maupun kelalaian), serta dapat dipertanggungjawabkannya tindak pidana yang dimaksud oleh PEMOHON, untuk menjamin tegaknya kebenaran materiil serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang juga disebut dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP.;

30.    Bahwa penetapan PEMOHON sebagai tersangka tidak didukung dengan bukti permulaan yang cukup yaitu 2 (dua) alat bukti yang sah, karena dugaan atas pelecehan Seksual kepada PEMOHON hanya berdasarkan dugaan belaka tanpa adanya unsur-unsur pidana materiil meliputi;
a.    Unsur Tindakan (Actus Reus) adalah istilah yang merujuk kepada unsur tindakan fisik konkret yang melibatkan perbuatan atau perilaku yang dapat diamati dan diukur secara objektif. Dalam konteks hukum kriminal, Actus Reus mengacu pada tindakan atau aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dan dianggap sebagai pelanggaran hukum, seperti pencurian, pembunuhan, atau perbuatan lain yang dilarang oleh undang-undang.
b.    Unsur Kesalahan (Mens Rea) mengacu pada niat atau kesengajaan batin pelaku dalam melakukan tindakan pidana. Ini mencakup motivasi, tujuan, dan pemahaman pelaku tentang konsekuensi perbuatannya. Dalam konteks hukum kriminal, unsur ini membantu membedakan tindakan yang disengaja dengan yang tidak disengaja serta menilai tanggung jawab hukum pelaku.
c.    Hubungan Kausalitas (Causation) merujuk pada hubungan sebab-akibat antara tindakan pelaku dan hasil yang timbul akibat dari tindakan tersebut, karena ini penting dalam sistem hukum kriminal untuk menetapkan bahwa tindakan pelaku memiliki peran penting dalam terjadinya hasil yang melanggar hukum.
d.    Objektivitas (Objective Elements) hali ini merujuk pada unsur-unsur hukum yang dapat diukur atau diamati secara jelas tanpa penilaian subjektif.

31.    BAHWA MERUJUK URAIAN DIATAS, PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PEMOHON TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA SEHINGGA TIDAK SESUAI PROSEDUR BERDASARKAN KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM ACARA PIDANA, PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2019 TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA, DAN PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN YANG BERLAKU.

32.    Bahwa dengan Pemohon ditetapkan sebagai tersangka tidak didukung dengan bukti permulaan yang cukup yaitu berupa 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut menjadi cacat hukum dan haruslah dikoreksi atau dibatalkan, sehingga Surat Penetapan Tersangka Nomor : S.Tap/818.a/X/2023/Polres Tbn.  Tertanggal 9 Oktober 2023 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum. Oleh karenanya Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat menurut hukum, untuk itu Surat Penetapan Tersangka Nomor : S.Tap/818.a/X/2023/Polres Tbn.  Tertanggal 9 Oktober 2023 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum.

33.    Bahwa pada dasarnya hubungan pertemanan antara PEMOHON dan Pelapor adalah hubungan pertemanan yang saling punya keinginan untuk bertemu dan ketika hubungan pertemanan tersebut dilakukan oleh seseorang yang memenuhi syarat sebagai orang yang sudah dewasa adalah dapat merupakan bentuk hubungan keperdataan, dan ketika dalam masa pertemanan Pelapor merasa dirugikan atas reaksi pertemanan tersebut dan ada yang dirugikan sepatutnya Pelapor menggugat PEMOHON secara Perdata dan bukan melaporkan secara pidana karena unsur tindakan pidana PEMOHON dalam bentuk peristiwa tindak pidana sama sekali tidak ditemukan;

34.    Bahwa dengan adanya Pemeriksaan, Pemanggilan, dan Penetapan Tersangka kepada PEMOHON dengan tanpa alat bukti yang sah secara hukum Pidana yang mengakibatkan segala acara dan program PEMOHON dalam melakukan pelayanan umat tidak dapat terlaksana dengan baik yang dikarenakan hal ini adalah bentuk kelalaian dan atau kesalahan TERMOHON dalam menjalankan tugas dan amanah Undang-Undang, dan PEMOHON harus menanggung malu akibat perkara ini, oleh karenanya telah menimbulkan kerugian materiil dan immateriil yang cukup besar terhadap PEMOHON yang disebabkan oleh TERMOHON salah dalam menerapkan hukum. Dengan demikian PEMOHON merasa sangat dirugikan, untuk itu berhak kiranya PEMOHON meminta ganti rugi akibat Tindakan TERMOHON tersebut, dalam bentuk ganti rugi dan dipulihkannya atau direhabilitasi harkat dan martabatnya PEMOHON;

35.    Bahwa jika dihitung-hitung besar kerugian materiil selama pemeriksaan berlangsung pada diri PEMOHON sehingga PEMOHON tidak bisa melayani umat dan juga pemohon harus menunjuk kuasa hukum adalah sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sedangkan besar kerugian immaterial PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka atas sangkaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang tidak pernah PEMOHON perbuat telah mempermalukan PEMOHON dan keluarga PEMOHON terlebih selama ini dikenal sebagai pelayan umat, maka dalam perkara ini PEMOHON menetapkan kerugian immateriil PEMOHON sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);

Bahwa dari rangkaian fakta dan alasan hukum diatas dalam kaitannya satu sama yang lain, maka seharusnya menurut hukum PEMOHON memohon agar Yang Mulia Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Tabanan berkenan memeriksa dan memutuskan sebagai berikut:

MENGADILI :

1)    Menerima dan Mengabulkan Permohonan Praperadilan PEMOHON untuk seluruhnya;

2)    Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh TERMOHON terkait dugaan Tindak Pidana Pasal 6 huruf (a) Undang – Undang Republik Indonesia Republik Indonesia No. 12 Tahun 2023 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pada Polres Tabanan, sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor : Nomor : S.Tap/818.a/X/2023/Polres Tbn.  Tertanggal 9 Oktober 2023, pada Polres Tabanan adalah TIDAK SAH DAN TIDAK BERDASAR ATAS HUKUM, DAN OLEH KARENANYA PENETAPAN A QUO TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN MENGIKAT MENURUT HUKUM;

3)    Memerintahkan TERMOHON untuk menghentikan penyidikan terhadap PEMOHON berdasarkan Surat Perintah Penyidikan :
-    Nomor : Sprin.Sidik/818/X/RES.1.24./2023/Sat Reskrim, tanggal 7 Oktober 2023;

4)    Menyatakan Penetapan Tersangka terhadap PEMOHON oleh TERMOHON terkait dugaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 6 huruf (a) Undang – Undang Republik Indonesia Republik Indonesia No. 12 Tahun 2023, adalah TIDAK SAH DAN TIDAK BERDASAR ATAS HUKUM, DAN OLEH KARENANYA PENETAPAN A QUO TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN MENGIKAT MENURUT HUKUM;

5)    Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprin.Sidik/818/X/RES.1.24./2023/Sat Reskrim, tanggal 7 Oktober 2023 : adalah TIDAK SAH DAN TIDAK BERDASAR ATAS HUKUM, DAN OLEH KARENANYA PENETAPAN A QUO TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN MENGIKAT MENURUT HUKUM;

6)    Menyatakan Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/818.a/X/2023/Polres Tbn.  Tertanggal 9 Oktober 2023; adalah TIDAK SAH DAN TIDAK BERDASAR ATAS HUKUM, DAN OLEH KARENANYA PENETAPAN A QUO TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN MENGIKAT MENURUT HUKUM;

7)    Menyatakan Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Bali Resor Tabanan Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor : B/48/X/RES.1.24/2023/Sat Reskrim, tanggal 11 Oktober 2023 tentang SPDP adalah TIDAK SAH DAN TIDAK BERDASAR ATAS HUKUM, DAN OLEH KARENANYA PENETAPAN A QUO TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN MENGIKAT MENURUT HUKUM;

8)    Menyatakan segala Keputusan, Penetapan, dan/atau Perintah yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penyidikan yang dilakukan TERMOHON adalah TIDAK SAH DAN TIDAK BERDASAR ATAS HUKUM, DAN OLEH KARENANYA PENETAPAN A QUO TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN MENGIKAT MENURUT HUKUM;

9)    Menghukum TERMOHON untuk membayar ganti kerugian materiil Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah)  dan kerugian immateriil sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);

10)    Memulihkan hak – hak PEMOHON baik dalam kedudukan maupun harkat dan martabat PEMOHON;

11)    Menghukum TERMOHON untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara a quo;

ATAU
Apabila Yang Mulia Hakim Praperadilan yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Pihak Dipublikasikan Ya